Setelah kabar kekalahan kaum muslimin
pada perang jembatan sampai ke Madinah, Umar bin Al Khaththab
radhiyallahu ‘anhu menyemangati tentara Islam untuk berjuang di Irak dan
Persia. Umar sendiri membentuk pasukan di luar kota Madinah, sehingga
banyak sekali kaum muslimin yang ikut bergabung untuk berjihad. Umar
berkeinginan memimpin sendiri pasukan perang tersebut, tetapi beberapa
sahabat memintanya untuk tetap tinggal di Madinah dan mengutus Sa’ad bin
Abi Waqqash. Mereka meminta Umar untuk tetap tinggal di Madinah, agar
dia mampu mengirimkan bantuan ke Iraq atau daerah lainnya, jika itu
diperlukan.[1]
Setelah adanya perintah, sempurnalah
mandate kepada Sa’ad bin Abi Waqqash untuk memimpin pasukan berjihad di
Iraq. Umar juga memberikan perintah kepada sisa tentara Islam yang masih
ada di Iraq di bawah pimpinan Al Mutsanna untuk bergabung di bawah
pimpinan Sa’ad.[2]
Akhirnya Sa’ad sampai ke Iraq dengan
membawa 4 ribu orang pasukan. Jarir bin Abdullah Al Bajali radhiyallahu
‘anhu lalu bergabung dengan tentara kaum muslimin, sedangkan Mutsanna
bin Haritsah meninggal dunia karena lukanya sebelum Sa’ad sampai ke
Iraq. Namun, sebelum meninggal dunia Al Mutsanna radhiyallahu ‘anhu
telah meninggalkan pesan penting untuk Sa’ad, tentang bagaimana
memerangi Persia dan jalan terbaik untuk mengalahkan mereka.[3]
Sa’ad bersama tentara Islam lalu
mendirikan kemah di daerah Al Qadasiyah selama hampir satu bulan,
sehingga jumlah pasulan mencapai sekitar 30 ribu orang mujahidin. Persia
pun telah mempersiapkan pasukannya hingga mencapai jumlah sekitar 120
ribu pasukan. Raja Persia juga telah memilih jenderalnya yang terkenal,
Rustum untuk memimpin pasukan melawan tentara Islam. Rustum dan Raja
Persia berusaha memberikan ampunan kepada Sa’ad tetapi Sa’ad tetap
bertahan memimpin tentara Islam. Melihat hal itu, Rustum pun bergerak
hingga mendekati perkemahan tentara Islam di Al Qadasiyah.[4]
Berlangsunglah beberapa kali perundingan
antara tentara Islam dan pasukan Persia, sebelum perang meletus. Rustum
meminta tentara Islam untuk mengirimkans eorang utusan untuk berunding
dengannya secara langsung. Utusan yang dikirimkan oleh Islam adalah
Rib’i bin Amir yang terkenal sebagai perunding dari kubu kaum muslimin.
Dalam melakukan pertemuan itu, Rustum melakukan beberapa persiapan,
antara lain, menyiapkan singgasananya yang dibanggakan, dan menghiasinya
dengan bantal-bantal yang dipoles dengan emas dan sutra. Dia juga
memamerkan perhiasannya, meletakkan beragam perhiasan yang
dibentangkannya dan dilingkari emas dan perak. Rustum lalu duduk
ditengah-tengah perhiasan itu di atas ranjang dari emas.
Rib’i menemui Rustum dengan baju yang
sudah lusuh dan bertambal, membawa pedang dengan santun dan menaiki
seorang kuda kecil. Ketika Rib’i sampai ke tempat Rustum, dia masuk
dengan mengendarai kudanya sehingga kuda itu menginjak kain-kain sutra
itu, lalu dia mencabut (mengambil) sedikit kain sutra yang terbentang
itu dan mengikatkannya ke kudanya, setelah itu dia menghadap kepada
Rustum sambil membawa pedang kecilnya.
Orang Persia itu lalu berkata, “Letakkan
pedangmu!” Rib’i menjawab, “Aku datang bukan dengan keinginanku
sendiri, tetapi ini atas undangan kalian. Maka biarkanlah aku sesukaku,
atau aku akan kembali pulang!” Rustum lalu memerintahkan bawahannya
untuk membiarkan Rib’i. Rib’i menhadap Rustum sambil bersandar pada
tombak yang ditancapkan di atas karpet dan bantal itu, sehingga sebagian
bantal itu rusak. Lalu Rustum mulai berbicara, “Apa yang membuat kalian
(kaum muslimin) datang kemari?” Rib’i menjawab, “Allah telah
memerintahkan kami untuk mengeluarkan orang yang Allah kehendaki, dari
penyembahan terhadap makhluk menuju penyembahan kepada Allah. Dan untuk
mengeluarkan manusia dari sempitnya dunia menuju keluasannya. Untuk
mengeluarkan manusia dari kezhaliman agama-agama yang ada menuju
keadilan Islam. Maka kami diutus dengan Agama-Nya kepada mahluk-Nya,
agar kami menyeru mereka kepada agama-Nya. Jika mereka mau menerima
Islam, maka kamu pun menerima mereka dan meninggalkan mereka (tidak
memerangi mereka). Akan tetapi jika mereka menolak, kami pun akan tetap
memerangi mereka hingga kami mendapatkan janji Allah.”
Rustum berkata, “Apa yang telah
dijanjikan oleh Allah?” Rib’i menjawab, “Surga bagi mereka yang meniggal
ketika memerangi mereka yang menolak, dan kemenangan bagi mereka yang
hidup.” Rustum berkata, “Apakah kalian dapat menunda masalah ini
(perang) sampai kami mempertimbangkannya?” Rib’i menjawab, “Baiklah,
kami akan memberi tenggang kepada kalian selama tiga hari.” Lalu Rustum
memintanya lebih dari tiga hari. Maka Rib’i berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengajari kami untuk memberi
waktu tenggang kepada musuh lebih dari tiga hari.” Kemudian Rustum
berkata kepada Rib’i, “Apakah kamu jenderal kaum muslimin?” Rib’i
menjawab, “Tidak, aku bukan jenderalnya, tetapi kaum muslimin itu
seperti satu tubuh, bagian bawahnya bersatu dengan bagian atasnya.”
Setelah itu Rustum mengumpulkan komandan perangnya, dia mendiskusikan
apa yang dikatakan oleh Rib’i kepada mereka. Akhirnya mereka memutuskan
untuk perang melawan tentara Islam, mereka tidak mau memeluk Islam,
atau membayar jizyah (pajak). Dua belah pihak pun akhirnya bersiap-siap
untuk melangsungkan pertempuran.”[5]
Berkecamuklah peperangan yang sengit
antara tentara Islam dan pasukan Persia, namun ketika itu Sa’ad bin Abi
Waqqash terkena penyakit bisul yang menjadikannya tidak mampu
mengendarai kuda, untuk itu dalam mengontrol tentara kaum muslimin,
Sa’ad memberikan komando dari atap sebuah rumah.[6]
Pasukan Persia pada perang ini telah
menyiapkan sejumlah gajah karena keefektifannya pada perang jembatan
sebelumnya, yang membawa kemenangan di pihak mereka. Pada hari pertama,
gajah berhasil memberikan dampak positif bagi pasukan Persia, karena
kuda-kuda tentara Islam menjadi takut dan tidak berani untuk bergerak
maju.
Oleh sebab itu, beberapa tentara Islam
pemberani bergerak maju dengan berjalan kaki, tanpa tunggangan kuda.
Mereka pun berhasil, meskipun itu sangat membahayakan diri mereka,
mereka dapat menjatuhkan penunggang-penunggang gajah dan para
komandonya. Dengan demikian, gajah-gajah itu tercerai berai sehingga
pengaruhnya terhadap tentara Islam berkurang. Korban jatuh dari pihak
Islam di hari pertama perang berjumlah lebih dari 500 orang syahid, dan
hari pertama perang tersebut dijuluki sebagai hari Armats.[7]
Pada pagi hari berikutnya, atau hari
kedua peperangan, datanglah bantuan dari tentara Islam yang bergerak
dari negeri Syam atau perintah Umar bin Al Khaththab Radhiyallahu ‘anhu.
Tentara Islam tersebut dipimpin oleh Hasyim bin Utbah bin Abu Waqqash
radhiyallahu ‘anhu. Pasukan tersebut dikepalai oleh Al Qa’qa bin Amr At
Tamimi. Al Qa’qa’ membagi pasukannya ke dalam kelompok-kelompok berisi
sepuluh orang tentara. Tujuannya agar pada setiap serangan yang telah
ditentukan waktunya, jumlah pasukannya tetap. Mereka sengaja
menerbangkan debu yang banyak, agar menjadikan musuh mengira bahwa
jumlah tentara Islam sangat banyak. Kedatangan bantuan yang datang
secara beransur-ansur dan memerlukan waktu yang lama, telah menjadikan
pasukan Persia takut. Dilain pihak, tekad tentara Islam semakin kuat.
Keuntungan psikologis tersebut memungkinkan Al Qa’qa dan pasukannya
untuk masuk ke tengah-tengah medan perang dan memudahkannya membunuh
beberapa pemimpin besar Persia. Untuk menhindari debu yang berterbangan,
tentara Islam mengikatkan diri dengan unta-unta yang mereka naiki.
Mereka menutupi unta mereka dengan kantong dan mengarahkan unta-unta ke
arah kuda-kuda pasukan Persia. Pasukan Persia pun berlarian. Pada hari
itu tanda-tanda kemenangan tentara Islam telah terlihat. Hari itu
kemudian disebut dengan hari Agwats (bala bantuan), karena bantuan untuk
tentara Islam telah datang.[8]
Pada pagi hari berikutnya, yaitu hari
ketiga peperangan, atau hari Umas, dimulailah perang untuk kesekian
kalinya antara tentara Islam dan pasukan Persia. Pada hari itu, pasukan
Persia kembali memanfaatkan tenaga gajah. Gajah-gajah tersebut berhasil
melukai banyak tentara Islam. Akan tetapi para pemberani dari tentara
Islam tetap kokoh menyerang kawanan gajah tersebut dan melawannya.
Mereka menyerang mata gajah dan belalainya, sehingga gajah-gajah
tersebut lari meninggalkan medan perang. Pada hari ini, mulailah kubu
Islam lebih unggul setelah tentara Islam diuji dengan ujian yang baik.
Menjelang malam, perang masih sengit berkecamuk, sehingga perang pun
terus bergulir dalam kegelapan malam. Tentara Islam pun terus menyerang
seperti perjuangan para pahlawan. [9] Tidak ada yang terdengar pada
malam itu, kecuali suara pedang beradu. Malam itu lalu dikenal sebagai
malam (Al Harir).[10] Tentara Islam pun mendapatkan ujian yang baik.
Fajar pun menyingsing, tetapi perang tak kunjung selesai sehingga waktu
dzuhur tiba, ketika pasukan Persia mulai melarikan diri dari medan
perang. Tak terkecuali Rustum, sang pemimpin pasukan Persia, turut
berusaha lari untuk menyelamatkan diri, nama usaha Rustum gagal, karena
seorang tentara Islam pemberani mengejarnya dan membunuhnya.
Pemimpin-pemimpin pasukan Persia yang lain pun turut terbunuh. Diakhir
perang, kemenangan telah menemani tentara Islam. [11]
Perang ini adalah perang terpenting yang
melibatkan pasukan Persia dan tentara Islam, karena dalam perang
tersebut, tergabung pasukan terbaik Persia. Kekalahan yang diderita
Persia ini memberikan efek yang sangat besar terhadap hancurnya
keyakinan yang dimiliki Persia. Setelah perang tersebut tentara Islam
mampu merebut kembali daerah-daerah yang dikuasai oleh Persia, setelah
sempat dikuasai Islam. Tentara Islam pun sudah bisa mempersiapkan
pembebasan kota-kota lain. Dari perang ini pula tentara Islam berhasil
memperoleh banyak sekali ghanimah dan senjata yang dapat dimanfaatkan
untuk membuka daerah baru.
Dikutip dari: Penaklukan Dalam Islam, DR.Abdul Aziz bin Ibrahim Al Umari, Penerbit Darussunnah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar